Bunga Kertas
Pagi itu sangat cerah. Aku sangat
bergembira saat melangkahkan kakiku ke ubin untuk pertama kalinya di hari itu
setelah lelap tertidur di ranjang semalaman. Orang bilang ini adalah hari yang
membahagiakan. Ya, Kamis merupakan satu dari tujuh hari yang paling
membahagiakan di sepanjang garis hidupku. Akupun tak tahu entah kenapa aku
punya insting bahwa hari ini sangatlah spesial.
“Aku berangkat dulu ya, Bu!”
Dengan seragam olah raga berwarna tosca melekat di
tubuhku, aku berjalan menuju tempat di mana aku biasa menunggu angkutan yang
setia mengantarkan aku pulang-pergi ke sekolah. Tidak seperti hari-hari
sebelumnya, hari ini aku berangkat lebih pagi. Jadi jalanan masih sepi dan
hawanya masih segar. Dengan memajang muka berseri aku berdiri menunggu di bawah
pohon talok yang sudah berbunga sambil memainkan ayunan bekas ban sepeda yang
tergantung di situ.
“Huh... lamanyaa...”, batinku sambil
melototin mata ke jam tangan warna coklat yang kupakai. Aku langsung berjalan
ke seberang jalan raya karena bosan menanti angkutan yang tak kunjung datang.
Hem... Tak apalah sekali-kali berangkat sekolah jalan kaki, kebetulan kan lagi
makai baju OR.
Di tengah perjalanan, tepatnya di depan
rumah dinas wakil bupati di kabupaten ini aku sempat mempunyai firasat aneh.
Tubuhku merinding saat mendengar suara langkah kaki seperti ada orang yang
mengikutiku dari belakang. Kedua kakikupun berhenti melangkah serta kubalikkan
punggungku. Alhasil aku terkejut dan membuat mulutku menganga cukup lama.
“Hahh!!” Tubuhku serasa kaku, pikiranku
pun hampir mati saat menatap matanya. Sungguh hal yang tak terduga.
“Hei!”, jawabnya dengan santai. Anak
laki-laki berjas oranye itu pun mendahuluiku. Setelah itu barulah aku menutup
mulutku yang terbuka lebar tadi.
Siapa dia? Bagaimana dia mengenaliku? Logo
di kaos kakinya persis dengan logo yang menempel di saku bajuku. Sehingga jelas
jika dia satu sekolah denganku. Tapi, siapa dia? Kedua pertanyaan itu yang terus menjadi
misteri di Kamis ini. Tetapi aku ragu untuk bertanya mengenai identitasnya. Tanpa
kutanya alasan dia menemuiku, anak itu langsung menjawab, “Tadi aku melihatmu
saat kau menyeberang jalan, lalu aku menyusulmu.” Sungguh penjelasan sederhana
namun bermakna dalam untukku.
Dia berkata dia ingin menyusulku. Padahal
jarak dari tempat ini dari jalan saat dia melihatku menyeberang tadi kan
lumayan jauh, mungkin ada 100 meter. Mungkin baru kali ini ada seseorang yang
mau mengejarku seperti itu.
“Jadi, kamu ke sini dengan berlari?”
“Begitulah...”, sedikit senyum ia berikan
kepadaku.
Sebagai bentuk terima kasih dan karena
tidak ingin membuatnya kecewa aku mengatakan “Wow...” untuknya.
Akhirnya kami berdua berjalan bersama ke
sekolah tercinta. Dia di depan dan aku mengikutinya dari belakang. Perjalanan
ini sangat menyenangkan. Meskipun aku terus bercanda bersama orang yang tak
kukenal, tapi aku merasa cukup nyaman. Sungguh, dia itu anak aneh. Cara dia
berkata seperti seorang yang lugu, tapi pikirannya dewasa. Dia juga suka
berkhayal, memikirkan sesuatu yang seharusnya belum terpikirkan oleh anak SMP.
Wajahnya pun juga membuatku selalu ingin tersenyum.
Di pertigaan Jalan Mawar, aku berhenti di
belakang pot bunga Bougenville yang sedang bersemi. Diantara bunga-bunga yang
mekar, ada satu yang unik. Bunga mungil itu mahkotanya berwarna hijau muda.
Wah, bunga langka ini! Seumur-umur, ini pertama kalinya aku melihat Bougenville
hijau. Tetapi saat melihat anak berjas oranye tadi sudah meninggalkanku jauh di
depan, segera kupetik bougenville itu sambil berlari mengejar dia.
Saat hampir sampai di sekolah... “Bangun
pemudi pemuda In..donesia! Lengan bajumu singsingkan...”. Ternyata sekarang
sudah jam 7!
“Aaaa!!!! Telat... Hei, kamu, anak aneh
yang pakai jas oranye, aku ke kelas duluan ya.”, kataku kepada anak aneh itu. Kami pun berpisah di
lobby, karena kelasnya berada di gedung timur sedangkan kelasku berada di
lantai 2 gedung barat. Saat hendak membuka pintu kelas, aku menengok ke barat.
Terlihat anak berjas oranye tadi sedang dimarahi oleh gurunya. Kelasnya berada
tepat di depan kelasku, namun berbeda gedung. Aku merasa sangat senang namun
juga merasa bersalah kepadanya karena membuat dia terlambat. Maafkan aku ya...
Begitu pelajaran berakhir, aku memasukkan
buku seni tari kelas 8 ke dalam ransel. Pada jam istirahat itu aku teringat
akan Bougenville hijau yang kupetik pagi tadi. Aku merogoh saku trainingku dan
mendapati setangkai bunga.
“Gubrakk! Aku salah petik bunga! Perasaan
tadi aku metik yang warna hijau. Kenapa sekarang warnanya jadi pink?”. Aku
sangat sangatlah kecewa dengan kecerobohanku. Bougenville pink tadi lalu aku
simpan di loker.
“Kamu kenapa, Sen?”, tanya Kirai, salah
satu teman baikku.
Mendengar pertanyaan Kirai yang sangat
amat lembut itu aku tergerak untuk menceritakan semua yang kualami pagi ini.
Kuceritakan pula tentang anak misterius yang berangkat sekolah bersamaku tadi
pagi. Entahlah, aku merasa begitu tertarik untuk mengetahui lebih banyak hal
tentang dia.
Keesokan harinya aku berangkat dan pulang sekolah
dengan berjalan lagi. Berharap bisa bertemu dengan anak misterius itu lagi.
Lusa, hari setelah lusa, dan hari-hari seterusnya aku berangkat sekolah dengan
jalan kaki. Namun hampir 2 minggu ini tak sekalipun aku melihat batang
hidungnya lagi.
“Mungkin memang bukan takdir kita untuk
mengenal... Tapi kan setidaknya aku bisa tahu namamu”, kata-kata itulah yang
selalu tergiang di benakku saat aku mengingatmu. Rasanya menyesal karena dulu
tidak punya keberanian untuk menanyakan siapa nama anak aneh itu.
Malam itu, malam Kamis, langitnya sangat
cerah dengan bintang-bintang bertaburan di langit luas. Aku jadi teringat film
Thailand yang kutonton beberapa waktu lalu. Aku ingat bagian dimana Nam, tokoh
utama dalam film itu, menuliskan nama orang yang disukainya di langit dengan
cara menghubungkan bintang-bintang yang ada. Aku ingin melakukan hal yang sama,
meskipun aku hanya menyukai anak aneh itu sebagai seorang teman saja.
Masalahnya, aku tidak tahu siapa namanya. Hem... Saat sedang bersandar di kursi
goyang saling mendengar lagu mellow, aku tertidur pulas.
“Sena,
bangun! Sekarang sudah jam setengah 7, cepat mandi!”.
“Hah! Haduh, aku bisa terlambat!”, aku
langsung terbangun dari tidur saat ibukku berteriak dan segera mandi. Aku tidak
terlambat sampai ke sekolah. Namun saat aku meletakkan ranselku,
“Bangung pemudi-pemuda Inndonesia...”.
Semenit kemudian bel masuk sudah berbunyi.
Dari pelajaran pertama dimulai hingga
pelajaran terakhir berakhir, aku sama sekali tidak memperhatikan apa yang
disampaikan guru. Pikiranku hampa semenjak aku bertemu anak misterius sekitar 2
minggu lalu. Kelas hari itu ditutup dengan doa bersama. Di dalam doaku, aku
memohon kepada Tuhan, supaya aku diberikan kesempatan untuk bertemu dengannya.
Setidaknya satu kali lagi saja sudah cukup.
Siang itu aku berjalan ke pulang ke rumah
dengan sangat lesu. Di pertigaan Jalan Mawar, aku melihat ada seorang ibu tua
menangis sambil memegang pot Bunga Bougenville yang bunganya aku petik saat
berjalan bersama anak misterius dulu. Kudekati ibu itu dan kutanya mengapa ibu
itu sangat sedih.
“Tepat dua minggu yang lalu, anakku,
Nicky, berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Pagi itu adalah hari
pertamanya bersekolah di sini setelah pindah dari Kalimantan. Katanya ia
berangkat bersama seorang teman barunya. Namun setelah sepulang sekolah, ada 2
orang petugas yang menangkap anakku dan membawanya ke Pusat Rehabilitasi Anak
untuk direhabilitasi. Kata salah seorang petugas, Nicky telah merusak fasilitas
kota dengan memetik bunga Bougenville langka di pot ini pagi itu. Akhirnya ia
harus diberi pembelajaran selama 2 minggu penuh di Pusat Rehabilitasi dan pihak
sekolah hanya bisa menutup-nutupi kejadian ini.”, jelas ibu itu kepadaku.
“Deg... Deg... Deg...” Aku sangat gemetar
dan tanpa kusadari tetes air mata sudah membasahi pipiku. Jadi, Nicky, anak
aneh itu ditangkap gara-gara aku memetik bunga?
“Kenapa kamu juga menangis, Nak?”, tanya
ibu itu dengan mata berbinar-binar.
“Tidak apa-apa, Bu. Saya hanya sedih
mendengar cerita ibu.”
“Sudahlah, Nak. Jam 3 sore nanti Nicky
sudah boleh dijemput untuk dibawa pulang.”
“Benarkah? Boleh saya ikut menjemput
Nicky?”
“Tentu.”, kata ibu itu sambil mengusap air
matanya.
Di Pusat Rehabilitasi Anak, aku melihat
Nicky diantar keluar dari asrama
rehabilitasinya. Anehnya, dia sama sekali tidak menampakkan wajah sedih. Dasar,
dia memang anak aneh. Ibunya langsung memeluk Nicky dengan bahagia. Sesudah itu
aku berbincang dengan Nicky sementara ibunya menyelesaikan administrasi.
“Hai, Nicky, sudah lama tak jumpa!”,
sapaku.
“Kau tahu namaku?”, jawab Nicky.
“Tentu saja aku tahu.”.
Kamipun saling mengumbar senyum.
“Nick, kamu tahu jika aku yang memetik
bunga itu, kenapa kamu tidak jujur saja kepada para petugas? Biar aku saja yang
harus direhabilitasi di sini.”
“Sudahlah, masalah itu jangan dibahas
lagi. Malahan aku kaget, ternyata metik bunga di pinggir jalan aja harus
dihukum. Sungguh aneh... ha... ha... ha...”
“Hem.. Iya juga ya! Peraturan yang aneh!”,
kataku sambil tertawa kecil.
“Makanya, kamu itu jangan suka metik bunga
sembarangan!”
“Ya maaf. Aku hanya ingin metik bunga
Bougenville hijau. Eh, ternyata aku malah metik yang warna pink. Karena itu
satu-satunya Bougenville warna hijau yang pernah kulihat.”
“Ya ampun... Sen, nanti kamu ikut ke
rumahku sebentar ya?”
“Kamu tahu namaku? Ke rumahmu untuk apa?”
Selesai administrasi, ibu Nicky pergi ke
minimarket untuk membeli sesuatu, sedangkan aku diajak Nicky ke rumahnya.
Setelah sampai, mataku ditutup dengan selembar kain dan aku dibawa ke suatu
tempat. Saat penutup mataku dibuka, aku melihat banyak sekali Bougenville hijau
yang aku ingin-inginkan.
“Petiklah sebanyak yang kau mau”, kata
Nicky sambil tersenyum.
“Bernarkah?”
Nicky pun mengangguk-angguk. Meskipun ia
memperbolehkanku memetik sepuasnya, tapi aku hanya mengambil 2 tangkai saja.
Itu sebagai simbol suatu pasangan.
Hari sudah sore dan aku harus pulang. Tentunya
perasaanku di senja itu sangat bahagia.
Saat aku hendak mengerjakan PR, aku
menemukan sepucuk surat mungil terselip di buku Matematika. Isi surat itu
adalah:
“Dear Sena,
Sena,
kamu pasti heran kenapa aku bisa mengenalmu? Sesungguhnya sejak pertama kali
aku pindah kesini, aku sudah sering melihatmu mondar-mandir di lapangan di
depan rumahku untuk bermain bersama teman-temanmu. Aku juga tak tahu entah
kenapa aku merasa ada yang berbeda darimu. Mulai dari saat itu aku terus
mencari tahu segala yang berhubungan denganmu.
Aku
juga sering melihatmu sedang mengamati bunga-bunga kertas. Jadi aku membawamu
ke kebun bunga kertasku. Oh iya, jangan suka metik bunga kertas di pinggir
jalan lagi ya?
Sena, aku juga sangat menyukai bunga kertas lho.
Maukah kamu jadi bunga kertasku? Karena bunga kertas adalah teman yang baik
untuk menuliskan curahan-curahanku. J
Salam, Nicky”
Nicky memintaku untuk menjadi bunga kertasnya.
Yang jelas aku akan sangat bahagia punya teman yang aneh seperti dia. Dan lebih
bahagia lagi jika aku menjadi bunga kertasnya.
Komentar
Posting Komentar