Trip to Bali 2012


Perhatian!  

Narasi ini dapat menyebabkan Bahagia, Bingung, Kantuk, Pingin, dan Banting Laptop.

Jika anda ragu untuk membaca kisah nyata ini, harap dibaca sampai titik terakhir karang yang sangat singkat ini!

Bilapun anda sudah tidak kuat untuk membaca kisah ini, harap lambaikan tangan anda, dan mintalah seseorang melanjutkan membaca kisah ini untuk anda.

Sekian pesan singkat dari saya

 NB : membaca dapat meningkatkan sesuatu yang bisa diingat, dikenang, dan dicintai...









Mencari Kenangan ke Bali 2012

Pada hari Minggu tanggal 18 Maret lalu, aku dan siswa siswi SMP Negeri 1 Boyolali melakukan ODA atau Out Door Activity ke Bali. Sekitar pukul 08.00 WIB, para murid serta guru pendamping sudah berkumpul di sekolah untuk melaksanakan apel, dan barisan juga sudah terbentuk menurut kelompok bis masing-masing. Acara tersebut berisi pengarahan-pengarahan, pengecekan maupun doa yang mengawali perjalanan kami. Begitu apel selesai, kami bergegas mengambil koper ataupun tas yang telah terjejer di sekolah dan menunggu kedatangan bis yang akan mengantar kami ke Pulau Dewata. Sementara bisnya belum datang, banyak murid yang memanfaatkan waktu senggang ini untuk bersama keluarga ataupun mengobrol bersama temannya.
Akhirnya bis yang kami tunggu-tunggu tiba. Murid-murid bersiap di dekat bis untuk berebut kursi yang diinginkan, termasuk teman-teman sekelompokku, yaitu Vindy dan Fahni. Mereka juga mencarikan tempat duduk untuk aku dan Ulfah. Setelah menaruh koper di bagasi, aku masuk ke dalam bis. Di sana terlihat Fahni sedang mencari tempat duduk, dan hanya kursi baris paling depanlah yang masih kosong. Ya sudah, kami duduk di situ saja. Lagipula aku juga belum pernah merasakan duduk tepat di belakang pak sopir, biarlah jadi pengalaman baru. Jam setengah sepuluh pagi, kami berangkat. Di bis ini ada 4 guru yang mendampingi kami, yaitu Pak Heru, Bu Ida, Bu Wulan dan Pak Andang. Ada 3 petugas di bis ini, yaitu Mas Cholis sebagai tour leader atau pemimpin perjalanan, pak sopirnya bernama Pak Widi dan ada juga Mas Rubadi yang tugasnya menjaga pintu dan memberi arahan kepada sopir. Di perjalanan siang hari ini kami melewati kota Solo, Sragen, Ngawi, dan Madiun.
Sekitar jam 13.00 WIB, kami berhenti di Surya Restaurant untuk makan siang dan menjalankan ibadah shalat bagi yang beragama Islam. Menu yang kami makan di rumah makan khas Minang ini adalah nasi ditemani ayam dan mi goreng. Minumannya teh dan dilengkapi dengan buah semangka. Selesai makan dan beribadah, banyak diantara kami yang sejenak berfoto-foto untuk kenangan. Tetapi saat siswa-siswa dan guru sudah bersiap di dalam bis, perjalanan tertunda karena ada seorang anak yang kehilangan ponselnya. Aku, Vindy, Fahni dan Ulfah terkaget saat mengetahui anak tersebut adalah Giri, teman sekelas kami. Namun selang beberapa waktu, ponsel milik Giri telah ditemukan oleh salah satu kru dari Malinda Tour. Malinda Tour adalah biro perjalanan yang mengantar dan membimbing ODA kami tahun ini.


Sebelum berangkat, masing-masing dari kami diberi tas pinggang kecil berwarna hitam dan kuning dan bertuliskan “MALINDA TOUR, Jl. Temu Giring no 16 Sogaten, Pajang Solo, Phone/Fax (0271) 725 933”. Kami diminta untuk memakai tas ini ketika berkaryawisata untuk menandakan bahwa kami murid SMPN 1 Boyolali. Perjalanan berlanjut menuju Pelabuhan Ketapang. Jam 8 malam, perjalanan dihentikan sejenak untuk makan malam dan menjalankan ibadah. Ada juga yang membersihkan diri. Tetapi, jujur waktu itu kelompokku tidak ada yang mandi. Selesai makan malam, perjalanan pun dilanjutkan. Kira-kira jam setengah 12 malam, kami sampai di pelabuhan, dan menyeberang jam 1 malam. Kami naik ke lantai 2 kapal dan duduk di tempat yang sudah di sediakan karena lantai 1 digunakan untuk tempat kendaraan.
Saat kapal masih berlabuh, ada seorang anak laki-laki yang akan menceburkan diri ke laut. Ia meminta orang-orang di kapal yang kebanyakan adalah murid dan guru dari SMPN 1 Boyolali untuk menjatuhkan uang ke laut, dan anak laki-laki itu akan mengambilnya. Tanpa ragu, dia menjatuhkan dirinya ke laut. Kami tak mengira ia benar-benar akan melakukan hal itu. Murid-murid pun langsung menengok ke laut dan mulai mulai menjatuhkan uang koin maupun kertas. Dengan sigap, anak laki-laki itu memunguti uang yang berjatuhan. Kapal mulai meninggalkan Pulau Jawa. Pemandangan pelabuhan kala itu sangat romantis. Dalam kegelapan malam, terlihat kerlap-kerlip lampu memancar dari pulau, mercusuar dan dari beberapa kapal. Duduk di dalam kapal membuat perutku terasa mual. Oleh sebab itu, aku, Fahni, Ulfah dan Vindy beranjak ke tepi kapal sambil menikmati pemandangan laut. Tak lama kemudian, aku dan Fahni teringat akan Film Titanic dan soundtracknya yang melegenda, yang berjudul My Heart Will Go On. Kami pun menyanyikan lagu tersebut bersama.
Tak terasa 2 jam perjalanan telah berlalu. Rombongan SMPN 1 Boyolali sampai di Pulau Dewata saat pagi buta. Kapal menempatkan diri di pelabuhan, dan…. Kapal yang kami tumpangi goyah karena menabrak dinding pelabuhan. Kami ketakutan, tetapi tidak terjadi apa-apa kepada kapal. Betapa girangnya kami, akhirnya bisa menginjakan kaki di Bali dengan selamat. Namun saat kami sudah masuk ke dalam bis untuk melanjutkan perjalanan, tiba-tiba ada seorang polisi yang menghadang. Beliau menyuruh kami semua turun dari bis. “Mau anak SMP, anak SMA, SD atau apa, semuanya turun lewat sana!”, kata polisi itu dengan agak galak. Ya sudah, kami ikuti saja perintah pak polisi itu. Ternyata, kami diharuskan melewati detector untuk dicek. Setelah itu, barulah kami diijinkan untuk melanjutkan perjalanan.
Di dalam bis, kami malah memperdepatkan tentang perubahan waktu, karena sekarang kami berada di daerah WITA. Ada yang mengatakan waktunya maju 1 jam, dan ada pula yang mengatakan waktunya mundur 1 jam. Akhirnya, Bu Ida yang menjadi penengah dan menjelaskan jika waktu di Bali 1 jam lebih cepat daripada di Boyolali. Perdebatan pun selesai. Di hari yang masih pagi sekali ini, banyak dari kami yang menggunakan waktu untuk tidur dan beristirahat. Karena perjalanan laut telah menyita kurang lebih 4 jam waktu tidur kami. Perjalanan ini sedikit terhambat karena jalannya lumayan macet dan warga Bali yang sedang mengadakan upacara adat.


Akhirnya, sekitar pukul 8 pagi, kami sampai di tempat wisata pertama di Bali, yaitu Tanah Lot. Bis yang aku tumpangi, bis 5 sampai terlebih dahulu di tempat ini. Kesempatan ini kami gunakan untuk mandi. Sebab kenyataannya sejak kemarin sore kami belum mandi, jadi badan kami terasa agak gatal dan gerah. Selesai mandi, kami beristirahat dan ada yang berfoto-foto sambil menunggu kedatangan bis lainnya. Cuaca di sini sedikit lebih panas daripada cuaca di Boyolali. Kebiasaan sekolah di sini juga menarik. Setiap anak perempuan yang memiliki rambut panjang, harus dikepang dua dan menggunakan pita yang warnanya sudah ditentukan oleh sekolah. Siswa SD pitanya berwarna merah sedangkan siswa SMP pitanya berwarna biru. Saat keempat bis lainnya sudah tiba serta penumpangnya sudah siap untuk berwisata, rombongan SMPN 1 Boyolali berjalan menuju tempat untuk makan di dekat situ. Nama tempat itu “Agung Bali”. Sebenarnya  Agung Bali merupakan tempat penjualan oleh-oleh dari Bali seperti tas, baju, topi, gantungan kunci dan pernak-pernik lainnya. Namun, kami makan di ruangan yang telah disediakan untuk kami menikmati sarapan. Menu yang diberikan bernuansa pedas ditemani dengan buah dan segelas teh panas. Ada ciri khas yang dapat kita temui ketika makan di Bali, di sini tidak menggunakan piring untuk makan. Melainkan dengan rotan/bambo yang telah dibentuk seperti piring dan dilandasi dengan selembar kertas minyak. Kata orang sini, supaya lebih mudah dan tidak usah mencuci piring. Jadi setiap kali selesai makan tinggal membuang kertas minyak atau alas lain. Mudah kan?
Seusai sarapan, kami menuju ke obyek wisata Tanah Lot. Di sana terdapat pura yang dibangun di atas karang yang terletak di pinggir pantai. Dan ini saatnya bagi murid-murid SMPN 1 Boyolali untuk berfoto ria di pinggir pantai. Kawasan ini cukup ramai dikunjungi oleh wisatawan domestik namun ada juga yang berasal dari luar negeri. Ombak di pantai ini cukup kuat sehingga kita akan mendengar suara yang cukup keras di sini. Belum puas dengan Tanah Lot, kami sudah diarahkan untuk meninggalkan lokasi dan berangkat menuju lokasi berikutnya, Tanjung Benoa. Untuk kembali ke tempat parkiran bis, kami melewati jalur yang di kanan kirinya terdapat banyak toko. Jika kita mengamati, maka dapat dilihat ada sesajen yang ditaruh di setiap toko. Para siswa dan guru pendamping sudah bersiap di dalam bis, akan tetapi keberangkatan bis malah ditunda karena sopir bisanya belum siap. Ya sudah, aku bergegas turun dari bis dan membeli minuman di warung kecil di dekat bis 5 karena aku sudah sangat kehausan. Aku heran, harga di sini melonjak jauh dan tidak boleh ditawar. Contohnya, air mineral yang biasanya dapat kita minum dengan 2000 rupiah, di sini harganya menjadi 4000 rupiah alias naik 2 kali lipat. Tapi karena terpaksa aku pun membelinya.
Tak lama datang 2 temanku, Fahni dan Vindy. Kami bertiga sejenak mengobrol di depan warung itu. Tiba-tiba aku teringat tentang tugas Bahasa Indonesia yang diberikan beberapa hari sebelum berangkat ke Bali dan memulai pembicaraan dengan penjual yang bernama Ibu Yuni itu, “Bu, boleh tanya ga?”. Ibu Yuni pun menjawab dengan ramah, “Oh, boleh. Mau Tanya apa?”. Aku dan Fahni senang bisa mendapatkan sasaran untuk dijadikan obyek wawancara dan mulai menanyakan beberapa hal. Dan hasilnya kami bisa tau kalau Bu Yuni yang sudah berumur 50 tahun ini beragama Hindu, tetapi Hindu yang berasal dari Kerajaan Majapahit alias dari Pulau Jawa. Ibu ini pernah pergi ke Gunung Bromo bersama putranya untuk berdoa, tapi belum pernah berdoa di Candi Prambanan. Agama Hindu yang dianut oleh Bu Yuni ini sedikit berbeda dengan agama Hindu asli dari Bali karena perayaan hari besar seperti Nyepi dilaksanakan 1 hari lebih awal namun kebudayaannya tetap sama. Saat Nyepi, umat Hindu dilarang keluar rumah, dilarang bekerja, dilarang menyalakan api, dan dilarang menonton/menikati hiburan seperti TV dan radio. Kata Bu Yuni juga, upacara yang tadi pagi kami lihat di perjalanan menuju Tanah Lot adalah upacara “Melasti”. Warga Bali akan membawa sesajen dan akan meletakannya di tempat tertentu. Mereka juga membawa arak-arak yang dianggap sebagai “Rumah Tuhan”. Bu Yuni juga memberi kami makanan khas dari Bali berupa ketan yang dikukus dan digoreng, namanya Beginuw. Rasanya sih enak dan namanya agak lucu.


Bis sudah dinyalakan. Kami bergegas masuk dan duduk di tempat kami mesing-masing. Perjalananpun dilanjutkan menuju Pantai Tanjung Benoa dan mulai dari sekarang akan ada pemandu wisata yang akan memandu tur kami. Beliau bernama I Ketut Suryandana tetapi bisa dipanggil Bli Ketut. Dalam perjalanan, Bli Ketut menceritakan kami banyak tentang Bali. Kata Bli Ketut, nama Tanah Lot dalam Bahasa Bali berarti karang di pinggir laut. Atas petunjuk dari Pendeta Dayang Dwi Jendra pada sekitar abad XVI masehi, Tanah Lot adalah tempat yang sakral karena telah terjadi sebuah keajaiban di situ. Di bawah karang tersebut, ada sebuah mata air tawar. Padahal tempat itu berada di pinggir laut. Oleh sebab itu, warga sekitar menyakralkan tempat itu dan membangun sebuah pura di sana. Begitu cerita dari Bli Ketut. Dalam perjalanan ini, Bli Ketut mendaftar dan mengelompokkan siswa dan guru yang akan pergi ke Pulau Penyu. Karena di Tanjung Benoa nanti kami bisa pergi ke tempat penangkaran penyu dengan biaya 40 ribu untuk ongkos kapal.
Sesampainya di lokasi, kami langsung berkumpul berdasarkan kelompok dan menuju ke kapal. Untuk sampai ke Pulau Penyu kami membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Kami berwisata kondisi cuaca yang kurang bersahabat. Di tengah perjalanan hingga di tempat tujuan, hujan deras melanda kami. Di tempat penangkaran, kami diminta membayar 5000 rupiah untuk biaya perawatan hewan-hewan di sini. Setelah itu, bolehlah kami bermain dan berfoto-foto dengan burung rangkok, ular , dan penyu kecil hingga penyu besar yang umurnya sudah mencapai 40 tahun. Bermain di pulau ini memang menyenangkan, sayangnya waktu begitu cepat berlalu dan kami harus segera kembali ke Pulau Bali karena cuacanya mulai mendung dan diperkirakan akan hujan. Hari sudah siang, dan kami pun makan siang setelah capek bermain di Pulau Penyu.
Sehabis makan siang, perjalanan berlanjut menuju Garuda Wisnu Kencana (GWK). GWK adalah patung Garuda yang dinaiki oleh Dewa Wisnu. Namun sekarang ini GWK masih dalam tahap pembangunan yang rencananya akan selesai dalam 30 tahun. Apabila patung sudah jadi, GWK akan menjadi patung yang tertinggi di dunia dengan berat ± 4000 ton.  Sesampainya rombogan  di di obyek wisata GWK, bagi yang beragama islam harus menunaian ibadah shalat asar terlebih dahulu. Sedangkan tempat yang tersedia cukup sempit, jadi harus mengantri dan menghabiskan banyak waktu untuk beribadah. Sehingga saat aku dan kelompokku hendak memasuki obyek wisata, waktu kami berkunjung sudah habis. Tetapi kami lebih memilih untuk masuk terlebih dahulu walaupun waktunya sangat mepet. Di sana kami melihat bagian kepala serta tangan dari Dewa Wisnu dan Garuda yang belum jadi. Tapi kami tak begitu menikmati pemandangan karena terburu-buru, sehingga hanya sekilas melewati jalan dan puluhan anak tangga. Dan segeralah kami keluar dari objek wisata itu dan melanjutkan perjalanan ke Krisna, pusat oleh-oleh khas Bali.


Ternyata, kami tidak masuk ke dalam Krisna. Melainkan kami naik mobil gredek alias colt yang sudah disediakan untuk menuju Pantai Kuta yang sudah berjejer di dekat Krisna. Kata orang, Pantai Kuta adalah tempat yang indah dan romantis untuk dikunjungi, tapi mungkin kedatangan kami di sini tidak tepat waktu. Kami hanya bisa berjejeran dan memandangi pantai dengan anginnya yang luar biasa. Kala itu sudah cukup sore, tetapi matahari yang terbenam tidak dapat disaksikan karena tertutup oleh awan mendung dan kecewanya kami karena tidak bisa melihat sunset di Kuta. Yang kami rasakan adalah angin laut yang begitu kencang dengan butiran air garam, mengenai tubuh kami sehingga terasa semakin asin dan gatal. Hari semakin gelap, dan rintik hujan kembali turun. Wisata di pantai ini pun harus diakhiri, dan kami kembali menuju ke Krisna. Nah, itulah waktu kami untuk berbelanja di Krisna. Pusat oleh-oleh ini cukup besar. Di dalamnya banyak dijual baju, aksesoris, mainan, gantungan kunci, tas dan masih banyak lagi. Orang-orang sibuk untuk membelikan oleh-oleh. Tetapi aku hanya membeli 3 helai baju dan sebuah miniatur gitar berwarna putih, karena aku bingung akan beli apa. Kami membayarnya di kasir, kemudian menuju bis untuk menuju hotel tempat kami bermalam nantinya.
Hotel yang kami tempati bernama Jayagiri, mirip nama teman sekelas kami bukan? Keluar dari bis, kami sibuk sendiri mengangkuti tas maupun koper dari bagasi bis untuk dibawa masuk ke dalam kamar hotel. Di sini terdapat 2 tipe kamar. Untuk para murid, menempati hotel yang mempunyai 3 lantai namun fasilitasnya biasa. Kelompokku tidur di kamar nomor 51 di lantai paling dasar bersebelahan dengan kamar putri lainnya. Sedangkan siswa putra menempati lantai 2 maupun 3. Ketika tiba di kamar masing-masing, hal yang kami lakukan adalah mandi, membereskan barang bawaan maupun beristirahat, sesudah itu barulah kami makan malam padahal saat itu aku belum mandi. Tapi tak apalah…. Banyak juga kok yang belum mandi. Habis makan aku mandi lalu bobok deh.
Keesokan harinya, aku dan Ulfah terbangun pukul 4 pagi karena suara alarm dari hp-nya Vindy yang sangat keras. Sedangkan Vindy sendiri masih tertidur pulas. Aku matikan saja alarm itu dan kembali tidur. Jam 5 pagi aku mandi sesudah Ulfah, dan saat selesai mandi Vindy baru terbangun dari tidurnya dan parahnya Fahni masih menikmati mimpi indahnya. Kami membangunkan semua personil dari kamar 51 dan segera bersiap karena jam setengah 8 nanti bis sudah harus berangkat menuju ke tempat pementasan Tari Barong. Semuanya sudah mandi, dan sekarang waktunya untuk sarapan. Kami makan bersama teman-teman dari kelompok lain di teras kamar hotel. Sebelum kami naik ke bis, ada jasa berfoto bersama gadis bali yang menghampiri kamar kami satu persatu. Ya sudah, ku foto aja. Biar biar bisa jadi kenang-kenangan. Semua sudah beres, bekal buku, uang dan, makanan kami juga sudah masuk ke dalam tas, inilah saatnya kami berangkat.
Perjalanan yang ditempuh menuju tempat pertunjukan tari “Putra Barong”, memakan waktu kurang lebih 1 jam dari hotel. Di sana juga ada jasa foto bersama penari Bali sebelum pertunjukan dimulai. Tari yang akan kami nikmati ini bernama Tari Barong. Pembukaan dari tarian ini adalah iring-iringan alat musik (gamelan) Bali yang menarik dengan kelincahan dan kecepatan tangan para pemainnya gamelannya. Pada intinya, tarian ini menceritakan Barong sebagai tokoh kebajikan yang melawan Rangda sebagai tokoh kebatilan.  Keduanya sama-sama sakti jadi pertarungan ini terus abadi dan tidak ada yang menjadi pemenang. Yang membuat pertunjukan ini semakin seru adalah para penari masih sempat saja melawak di tengah-tengah acara. Tepuk tangan yang meriah pun akhirnya berkumandang di penghujung acara ini. Kami sangat menikmati ini. Berhubung waktunya juga sangat padat, kami hanya beberapa kali berfoto bersama 1 kelas dan segera menuju bis masing-masing untuk berkunjung ke Istana Kepresidenan Tampak Siring Bali.


Sesaat sebelum masuk di halaman parkir istana, ada sedikit masalah dengan pemarkiran bis. Sopir bisnya kesusahan untuk parkir karena kelima bisnya terus saja berputar-putar di tempat parkiran. Dan akhirnya tiap-tiap bis mendapat tempat parkirnya masing-masing. Kamipun juga bisa segera turun untuk masuk ke istana kepresidenan ini. Ada beberapa aturan yang harus ditaati ketika mengunjungi tempat ini, beberapa diantaranya adalah tidak boleh membawa tas, tidak boleh memakai celana jeans, dan harus berpakaian yang sopan. Sampai di gerbang masuk istana, kami berbaris menurut kelompok bis dan dalam menyusuri wilayah seluas 19,265 hektar ini, rombongan kami alias rombongan bis 5 dipandu oleh I Wayan Pratama. Bapak itu sangat baik, ramah, dan menyenangkan. Beliau dengan lancar menceritakan sejarah dan bangunan-bangunan di kawasan istana ini.
Dulunya sebelum berdiri, wilayah ini adalah tempat Pesanggrahan milik Raja Gianyar yang digunakan untuk tempat penerimaan tamu agung. Istana Tampak Siring ini memiliki ketinggian kurang lebih 700 m dari permukaan laut dan terletak 45 ke arah utara dari Denpasar. Namun, kini bangunan itu telah berubah menjadi tempat kepresidenan. Di sini terdapat beberapa wisma. Yang pertama adalah Wisma Merdeka. Wisma ini dibangun tahun 1957 dan merupakan tempat kediaman bagi keluarga kepresidenan. Yang kedua adalah wisma Negara. Wisma ini diperuntukkan bagi tamu-tamu Negara. Wisma ini dibangun tahun 1960 dan dihubungkan dengan Wisma Merdeka melalui sebuah jembatan yang dinamakan Jembatan Persahabatan karena melambangkan persahabatan antara Negara Indonesia dengan negara lain. Di bawah jembatan ada jalan setapak yang digunakan untuk aktivitas masyarakat umum. Wisma Yudistira adalah wisma ketiga yang dibangun pada 1961. Wisma ini diperuntukkan bagi para pejabat setingkat menteri. Wisma keempat adalah Wisma Bima. Bima yang artinya kekuatan adalah wisma yang dibangun untuk para pengawal tamu negara presiden atau lebih sering disebut Paspanpres. Di sini ada juga lokasi yang bernama Wantilan yang digunakan untuk tempat pertunjukan/ pentas seni. Biaya perawatan untuk kawasan istana ini tentunya sangat besar, namun hal biaya ini dirahasiakan oleh Negara. Kami juga diperbolehkan untuk masuk ke Gedung Konferensi. Gedung ini dibangun tahun 2003 namun baru dipakai tahun 2004. Di dalam gedung yang mempunyai 68 kursi dan 18 tiang penyangga ini biasa digunakan untuk KTT ASEAN.
Kerennya, di depan wisma-wisma di sini telah disediakan tempat landasan untuk helikopter. Di sini juga terdapat legenda tentang telapak kaki orang yang berjalan miring. Maka dari itu tempat ini disebut dengan tampak siring. Ada juga sumber mata air yang konon dapat menyembuhkan banyak penyakit. Kita juga bisa menemui patung Dewi Saraswati yang mempunyai 4 tangan yang melambangkan dewi pendidikan. Karena wilayah istana Negara ini sangat luas, kami tidak bisa berkeliling ke seluruh bangunan yang ada. Akhirnya kunjungan di di sini pun diakhiri dengan berfoto bersama di depan gerbang masuk istana. Dan kami masuk ke bis untuk melanjutkan perjalanan ke rumah makan.

Di siang hari itu kami makan dan ada juga yang melaksanakan ibadah shalat. Sesudah itu kami berbelanja di Toko Buah Tangan Bali yang lokasinya berada tepat di depan rumah makan yang kami datangi. Di sana menyediakan makanan-makanan khas Bali dan juga pernak-pernik yang lucu. Di sana banyak menjual kopi, brem, keripik buah dan sebagainya. Sedangkan di sana aku hanya membeli Torakur. Yaitu Tomat rasa kurma. Ini merupakan kreasi dari buah tomat yang dibuat manisan sehingga rasanya mirip dengan kurma. Murah, enak lagi. Selesai berbelanja aku akan kembali ke bis. Tapi malah ada kabar kalau uangnya Hanum hilang. Nggak jadi masuk deh. Tapi beberapa saat kemudian, aku melihat Hanum keluar dari toko membawa sekresek besar yang isinya oleh-oleh yang baru saja ia beli di toko itu. Aku menjadi heran dengan anak itu. Katanya uangnya hilang, tapi kenapa belanjaannya malah paling banyak ya? Uangnya itu hilang beneran nggak sih? Saat aku tanya, uangnya memang benar-benar hilang. Tapi yang hilang itu cuma 50 ribu. Yah… aku kira yang hilang jutaan. Ya sudah, mending diikhlasin aja kan… hehehe.
Sekarang aku benar-benar masuk ke dalam bis. Perjalanan berlajut ke Museum Bajra Sandhi. Museum ini merupakan museum perjuangan rakyat Bali. Bajra Dalam bahasa Bali berarti lonceng yang dibawa pendeta. Dinamakan begitu karena memang bentuk museum ini seperti lonceng yang dibawa oleh pendeta. Perjalanan untuk sampai di sana cukup lama dan hujan pula. Di tengah perjalanan Bli Ketut terus bercerita tentang Bali, namun aku tidak terlalu memperhatikan karena aku sangat lelah. Yang aku dengar, ada yang bertanya, “Mengapa di patung-patung di Bali dikasih sarung kotak-kotak?”. Dan Bli Ketut pun menjawab jika patung-patung itu memang sengaja diberi kain kotak-kotak yang warnanya hitam-putih. Dan sebenarnya tidak hanya pohon, tetapi joga pohon-pohon yang dianggap suci. Kain tersebut melambangkan keseimbangan antara hitam dan putih, kebaikan dan kejahatan yang sama kuatnya, dan tidak bisa dipisahkan.
Mungkin kedatangan kami di sini kurang membawa keberuntungan. Cuacanya terus saja memburuk. Hujan masih turun ketika kami sudah turun dari bis dan berjalan masuk ke Museum Bajra Sandhi. Jadi aku harus menyusuri jalan setapak bersama dengan Fahni dan Bliketut hanya dengan 1 payung yang kami bawa. Walaupun sudah pakai payung, tapi sama saja basah, sama saja kedinginan, sama saja sakitnya. Untungnya saat kami masuk ke museum, kami sudah bisa menutup payung dan mulai berkeliling di dalam situ. Lantai dasarnya dipenuhi warna putih dan terdapat sebuah relief yang menyambut kunjungan kami di sini. Beberapa langkah dari situ, ada tangga yang akan mengantarkan kami ke lantai yang berikutnya. Di bawah tangga itu ada kolam yang berisi air yang lumayan keruh. Di Lantai 2, kita bisa menemukan museum yang sebenarnya. Di lantai ini terdapat banyak miniatur yang menggambarkan keadaan rakyat Bali pada zaman dahulu. Ilustrasi itu dilengkapi dengan cerita singkat dan di tata sesuai urutan yang letaknya melingkar. Contohnya adalah ilustrasi yang menggambarkan rakyat Bali saat perang. Ada juga beberapa peninggalan sejarah yang dipajang seperti beberapa pedang dan surat perjanjian. Kebanyakan peserta ODA yang membawa kamera hanya melihat-lihat, memotret lalu pergi begitu saja. Tapi ada juga yang benar-benar mempelajari sejarah Bali di museum ini. Tetapi aku tidak membawa kamera dan tidak terlalu niat untuk studi di sini. Karena saat itu, cuaca di mataku sudah mulai mendung dan kakiku sudah terlalu sakit untuk terus berjalan. Aku hanya berjalan, berhenti dan berjalan lagi entah tak tau kemana, sambil mencari teman-temanku yang lain karena aku terpisah dari mereka.


Dan saat waktu kami berkunjung di museum ini telah habis aku pergi menuju ke tangga untuk turun dan menemukan kawan-kawanku sedang turun dari tangga yang mengantarkan kita ke lantai paling atas. Di lantai 3 sana terdapat pura, jadi yang ingin pergi ke sana harus dalam keadaan suci. Anak tangganya pun sangat banyak dan melingkar. Saat aku ingin mencoba dan telah mencapai 16 anak tangga, aku malah disuruh turun karena waktunya sudah habis. Aku sangat kecewa karna Vindy, Ulfah dan  Fahni telah sampai di puncak museum, sedangkan aku hanya bingung sendiri di lantai 2. Tapi tak apalah… daripada aku nanti pingsan dan menggelinding dari tangga. Lebih baik aku menghentikan pendakian ke lantai atas. Kami berempat turun dan mengambil sebuah foto untuk diabadikan lalu masuk lagi ke bis. Kami berjalan keluar museum, menuruni tangga dan melewati jalan setapak lagi. Kabar baiknya, saat itu hujannya tidak deras, cuma rintik-rintik. Kabar buruknya, meskipun hujannya sudah tidak deras, tetap saja jas almamater, rok yang aku pakai, juga badanku basah kuyup. Apalagi di bis ada AC-nya. Menderita deh aku karena kedinginan.
Dan sesuai jadwal, sekarang kami harus menuju ke Pantai Sanur. Sedangkan di bis 5 ini, banyak yang memprotes untuk pergi ke sana. “Udahlah Bli, ke Pantai Sanurnya besok aja. Capek nih. Sekarang kita ke hotel aja”, kata seorang murid. Mereka kata hari sudah terlalu sore dan kecapaian. Namun, perjalanan tetap berlanjut. Hujan sudah mereda ketika kami sampai di lokasi, Pantai Sanur. Pantai ini lumayan indah. Sayangnya kondisi cuaca yang terus-menerus buruk membuat pesonanya menghilang. Baru sebentar kami berdiri di pinggir pantai, hujan deras tiba-tiba datang. Untungnya aku membawa bekal payung. Jika tidak, mungkin badanku bisa reumatik gara-gara kedinginan. Banyak siswa berlarian dan mencari tempat berteduh. Di dekat situ, ada sebuah tempat seperti tempat makan yang cukup luas. Nah, disitulah murid-murid SMPN 1 Boyolali banyak yang berteduh sambil menikmati jajanan yang tersedia. Tetapi ada juga yang lebih memilih masuk dan duduk di dalam bis.  Sedangkan aku dan Fahni malah dengan sengaja berdiri dan mondar-mandir di tengah hujan yang deras hanya dengan payung yang sudah agak rusak itu. Kami juga menjadi ojek payung yang mengantarkan teman-teman kami ke tempat lain maupun masuk ke bis. Dan ada yang berbeda dari jasa ojek payung kami, layanan ini tidak memungut biaya. Tetapi bila pelanggan sampai di tempat tujuan tidak selamat alias basah kuyup, resiko ditanggung pelanggan. Usil juga kan kami?
Titik-titik air yang jatuh mulai mengecil, angin berhembus semakin pelan dan hari sudah sore. Kami masuk ke dalam bis lagi. Di dalam bis, kakiku serasa patah karena hawa yang menusuk sampai ke tulang-tulangku. Telapak tangan dan kakiku hampir sedingin es dan hidungku seperti meleleh. Situasi seperti ini sungguh tidak mengenakkan. Sopir bis masuk, mesin dihidupkan, bis berangkat dan Bli Ketut mulai bercerita. Entah apa yang dikatakan oleh Bli Ketut maupun apa yang dilakukan oleh penumpang bis yang lain, aku tidak terlalu peduli. Aku lebih memilih istirahat, sedikit bercanda dengan teman sekelas, juga sms-an dengan teman-temanku yang berlainan bis. Rasa-rasanya aku sangat malas dan capai sekali hari ini. Inginnya aku segera sampai di tempat lain yang ada kasurnya, yaitu di hotel. Aku ingin segera tidur dan melepaskan penatku. Tanpa terasa, bis berhenti. Kami semua turun dan kulihat ada toko besar yang berjudul Karang Kurnia. Wah, belanja-belanja lagi nih.
Di dalam sana, kita bisa menemukan banyak baju, tas, sandal dan aksesoris lain khas Bali. Teman-teman mulai berpencar menuju barang yang mereka inginkan. Aku bingung hendak membeli apa. Aku berkeliling kesana kemari dan tak tahu tujuan. Akhirnya aku melihat sekumpulan tas dipajang di bagian pojok dari toko itu. Tanganku mulai memegang dan memberantakan tempat itu. Tapi tenang, karena aku akan merapikannya lagi. Aku melihat tas dengan warna kesukaanku, warna hijau. Tetapi aku bingung karena di situ terdapat 2 model tas. Yang satu tas samping biasa, dan yang satu berupa resleting yang dibentuk menjadi tas. Setelah dipikir-pikir, sepertinya lebih enak menggunakan tas yang biasa. Aku ambil tas itu dan membawanya ke kasir. Di tengah jalan, aku bertemu dengan teman-temanku lagi. Tak lama, terdengarlah kabar bahwa waktu kami berbelanja di sini sudah habis. Aku segera membayarnya di kasir dan menuju ke bis lagi. Perutku yang saat itu seperti sudah menyanyikan lagu keroncong untukku. Dia kelaparan dan meminta makan dengan segera. Untungnya selama di Bali ini maag-ku tidak kambuh dan masih masih bisa untuk menahan rasa lapar. Nafsu makanku di sini menurun drastis karena khas makanan di sini cenderung pedas dan aku tidak terlalu suka dengan pedas.


Saat hari sudah petang, akhirnya kami sampai juga di hotel. Sejenak beristirahat membuatku merasa lebih baik. Aku, Vindy, Fahni dan Ulfah pun menuju ke tempat makan dan sesudah itu kembali lagi ke kamar. Seperti biasa, untuk menentukan siapa yang mandi lebih dulu kami main hom-pim-pah. Yang menang yang duluan, yang kalah yang terakhi, itu motto kami. Badan sudah bersih, perut sudah kenyang dan kami siap untuk tidur. Tetapi malam itu ada keramaian di luar kamar. Teman-temanku sekelas yang lain berkumpul di depan kamar 51 ini. Pihak hotel mengundang acara dangdutan untuk menhibur kami. Suasana semakin ramai ketika si penyanyi melantunkan lagu ‘Iwak Peyek’ yang lagi ngetren di kalangan masyarakat. Tapi sayangnya, pakaian yang yang dikenakan oleh pedangdut itu kurang sopan dan mungkin belum semestinya anak-anak sekolah menengah pertama menyaksikan hiburan yang seperti ini. Aku tidak ikut keluar menonton. Aku hanya mempersiapkan koper dan barang bawaan karena besok kami akanmeninggalkan Pulau Bali. Aku berdiang di kamar dan berusaha untuk bisa terlelap karena aku sangat lelah. Seperti biasa, anak aksel sering banget ngrumpi. Termasuk aku juga sih. Di depan kamar ini mereka banyak ngobrol dan bercanda bersama. Oleh karena itu, waktu ini seperti acara bagi kelas kami untuk berkumpul. Fahni mengirimkan pesan kepada seluruh penghuni kelas aksel untuk turun ke kamar 51.
Beberapa waktu kemudian, konser kecil-kecilan itu selesai. Para penonton kembali masuk ke kamar masing termasuk anak aksel yang tadinya bergerombol di depan kamar 51 kini juga pulang ke kamar. Suasananya menjadi sepi dan hening. Kami menemapti kasur masing-masing untuk segera tidur salam mimpi, di kasur sebelah Ulfah dan Vindy malah membuat keributan. Ulfah mengkhayal tentang nasib kematian beberapa orang. Salah satunya adalah seseorang yang dicintai oleh Vindy dan bisa dibilang pacarnya. Dalam imajinasi itu, orang tersebut menninggal dengan sangat mengenaskan di rel kereta api. Pasti anda juga bisa tahu, apa yang sekiranya terjadi jika kecelakaan itu di rel kereta api. Vindy berteriak layaknya histeris mendengar cerita Ulfah tersebut. Dan ini memang sudah biasa bagi kami untuk bercanda. Raut muka Vindy juga masih menggambarkan senyuman. Karena hal ini, aku jadi tidak berniat untuk tidur. Kami malah saling bercanda di malam yang sepi itu.
Bahkan juga menelepon beberapa anak laki-laki di kamar atas, hingga mengurangi nominal pulsaku. Sedangkan saat itu tidak ada hal penting yang dibicarakan. Kami semakin gaduh dengan guyonan kami. Dan untuk yang kesekian kalinya telepon genggamku dipermaikan untuk menelepon Hanif. Vindy dan Fahni berkata mereka akan membicarakan tentang skenario film, padahal menurutku ini sudah terlalu malam untuk membahas hal ini. Tapi tak apalah, untuk kesenangan. “Halo! Halo! Halo, ini siapa?” terdengar suara beberapa anak laki yang menjawab panggilan ini. Terus saja kata ‘halo’ mereka ucapkan bergantian. Firasat buruk datang. Hatiku mengatakan bahwa aka nada gangguan dengan hp-ku. Panggilan dimatikan setelah kami menelepon untuk beberapa menit dengan percakapan yang tidak jelas. Setelah aku menekan tombol *555# à OK, terlihat jelas di layar bahwa pulsa kartuku kurang dari seribu rupiah. Aku bingung. Dengan pulsa sebanyak ini, apa yang bisa aku lakukan untuk menghubungi seseorang. Ya sudahlah, aku ikhlaskan saja. Tak lama gerombolah anak laki-laki turun dari lantai atas. Mereka mengatakan bahwa mereka menerima sms berisi ajakan untuk turun ke lantai 51. Padahal sms tersebut Fahni kirimkan kepada mereka saat ada acara dangdut tadi.


Kami keheranan, tapi mereka sudah terlanjur turun. Dan merekapun menceritakan beberapa hal aneh yang mereka alami selama berada di hotel ini. Katanya kamar di lantai atas sungguh menyeramkan. Mereka melihat dan merasakan penampakan juga beberapa hal aneh yang lainnya. Saat itu Vindy dan Ulfah sudah tertidur sehingga tinggal aku dan Fahni yang mendengar cerita ini. “Deg…”, begitu cerita itu terdengar, detak jantungku terasa lebih cepat dan kuat. Aku sanga takut dengan hal-hal yang berbau mistis, apalagi aku sedang berada di lokasi yang berdekatan dengan tempat cerita itu terjadi. Mereka, anak laki-laki akhirnya naik ke atas lagi. Jendela kamar tidak ditutup karena hawa di sini sangat panas, tidak seperti di Boyolali. Hanya saja gorden menutupnya sehingga daerah di luar kamar yang sangat gelap itu tidak terlihat. Fahni mengatakan ia sudah mengantuk, tetapi entah mengapa semua rasa kantuk di mataku hilang begitu saja sesudah mendengar cerita mistis tadi. Aku memutar musik di telepon genggamku dan meminta Fahni untuk tidak tidur sebelum aku bisa tidur. Tetapi Fahni pun akhirnya tertidur dahulu. Aku sendiri yang belum bisa tidur dalam keadaan yang sangat cemas dan takut.
Tiba-tiba angin berhembus kencang dan meniup gorden itu. Gemuruh angin terdengar dan munculah suara aneh seperti ada yang mengetuk pintu. Kucoba untuk membangunkan Fahni karena kukira ada tamu. Tetapi beberapa saat kemudian lagi suara-suara dan angin tadi menghilang. Volume musik ku perkeras supaya tidak ada lagi hal lain yang terdengar selain lagu. Aku terus melihat sekelilingku dengan cermat, takut sesuatu akan Nampak. Terutama di bagian dekat kamar mandi. Setelah terlihat aman, aku memejamkan mata dan berusaha masuk ke alam mimpi. Tetapi udara panas memenuhi telingaku dan aku terbelalak. Kembali kuperhatikan keadaan sekitar dan kulihat di luar jendela, langit berwarna merah. Hatiku berusaha untuk tenang kembali. Aku memejamkan mata lagi, berharap mimpi segera datang. Tetapi lagi-lagi aku merasakan hal aneh dan aku terbangun. Terus berulangkali aku melakukannya, memenjamkan mata, membuka mata dan memejamkan mata lagi. Aku begitu ketakutan sampai peluh membasahi wajah dan bantalku. Hingga akhirnya sekitar jam 12 malam aku benar-benar memasuki alam mimpiku.
Aku merasakan tidurku sangat singkat. Seperti hanya memejamkan mata lima detik dan kemudian mataku terbuka lagi dan kulihat ada beberapa teman dari kamar lain yang duduk di samping kasurku dalam keadaan bugar, sudah mandi dan pakaiannya rapi. Kutolehkan leherku ke kiri dan sinar matahari sudah menerangi bumi. Mataku masih sulit untuk diajak kompromi dan badanku terasa lengket dengan kasur. Akupun tertidur lagi. Lama-kelamaan aku sadar jika hari sudah semakin siang dan aku masih tergeletak di kasur. Padahal jadwal hari ini dimajukan setengah jam. Jadi jam setengah delapan aku sudah harus siap dengan semua barang yang akan kubawa pulang nantinya. Dengan terpaksa aku duduk dan segera masuk ke kamar mandi. Sebenarnya aku sangat malas karena ak terbiasa bangun pagi langsung mandi dengan air dingin. 15 menit berlalu. Aku sudah selesai mandi dan mengganti pakaianku. Sesudahnya aku kembali mempersiapkan dan mengecek barang-barangku lalu kumasukkan ke dalam koper.


Kami mengunci pintu kamar dari luar lalu membawa barang-barang kami ke bagasi bis dan barulah kami sarapan. Tetapi makanan yang kami ambil tidak kami makan di tempat yang sudah disediakan. Kami membawanya untuk dimakan di teras depan kamar bersama teman-teman kami yang lain. Kami mengobrol dan aku juga meminta Vindy untuk mentransferkan pulsa untukku dan aku akan menggantinya dengan uang karena pulsaku sangat mepet. Setelah semuanya selesai dan siap, akhirnya Hotel Jayagiri ini harus kami tinggalkan. Baru beberapa puluh langkah dari dari kamar ada banyak orang berkerumun. Maka akupun juga ikut berkerumun. Ternyata pihak hotel menjual gantungan yang bergambar foto kami dengan gadis Bali yang diambil kemarin sebelum berangkat ke tempat pementasan Tari Barong. Setiap satu benda mungil ini dihargai dengan sepuluh ribu rupiah saja. Akupun mengambilnya dengan senang hati. Vindy, Fahni, Ulfah serta teman-teman yang lain juga membeli gantungan itu. Dengan membawa gantungan tersebut kami masuk ke dalam bis.
Kurang lebih pukul setengah delapan, bis berangkat menuju tempat menjual kaos dari Bali yang sudah cukup terkenal di banyak tempat, yaitu Joger. Mungkin orang yang belum pernah berkunjung ke Bali pun juga ada yang sudah mengetahui salah satu pabrik kata-kata yang paling terkenal di Bali ini. Sebenarnya di sini tidak hanya dijual kaos saja. Untuk bisa masuk, kami diberi stiker rombongan dan barang kami harus diperiksa serta kami harus melewati sebuah pintu detektor. Banyak benda-benda lain yang dijual di sini, seperti kain, bantal, sandal, stiker, mainan, mug, dompet dan lain-lain. Desain ruangan di sini juga bagus dan membuat kami lebih nyaman meskipun di sini terus saja ramai pembeli. Tiap benda yang dijual diberi pengaman untuk menghindari pencurian. Jika sampai benda yang masih berpengaman ini dibawa keluar toko, maka akan ada tandanya. Pengaman ini akan dilepas oleh kasir apabila telah dibayar. Yang unik dari benda-benda yang dijual di sini, semuanya selalu dilengkapi dengan kata-kata yang menarik. Bahkan plastik dan tas yang digunakan untuk membungkus barang yang sudah dibeli pun mengandung kata-kata. Mungkin faktor inilah yang membuat benda-benda di sini terbilang lebih mahal dibanding kita membeli barang di tempat lain. Tetapi masalah ini tidak menurunkan minat pelanggan.
Setelah cukup lama di Joger, kami melanjutkan perjalanan ke tempat yang berikutnya, Bedugul. Sepertinya Bedugul terletak di dataran tinggi dari Pulau Bali ini. Sebab jalan yang kami lewati untuk ke sana terus saja menanjak dan berkelak-kelok. Di tengah perjalanan, bis kami berhenti untuk makan siang dan menjalankan ibadah bagi yang beragama Islam. Di rumah makan kali ini, ada ruangan terbukanya. Hawa di sini pun dingin dan basah. Sehabis makan, aku kembali ke bis hanya bersama temanku dari bis 2, Nanda. Di parkiran bis, kami berdua hanya sendiri karena teman-teman kami yang lain tentunya sedang shalat. Sambil bercengkrama, aku berusaha untuk meminjam telepon genggan Nanda. Karena menurutku ada sesuatu yang ia sembunyikan di dalam handphone-nya. Namun aku tidak diperbolehkan untuk melihat dan tiba-tiba butiran air menetes dari langit. Aku masuk ke dalam bis, begitu juga dengan Nanda. Meskipun berbeda bis, komunikasi kami terus berlanjut lewat sms hingga akhirnya Vindy, Fahni dan Ulfah telah kembali ke bis bersama penumpang bis 5 yang lain. Saat bis sudah siap berangkat, Mas Cholis sebagai tour leader kami malah belum kembali ke bis. Pak sopir yang sudah tidak sabar berangkat, ingin meninggalkannya, katanya supaya Mas Cholis ngojek saja. Setelah beberapa waktu menunggu, Mas Cholis pun tiba dan bis segera beranjak meninggalkan tempat parkir untuk pergi ke Bedugul.


Bis berhenti. Kami turun dengan bekal payung dan Bedugul sudah di depan mata. Tetapi kami masih harus berjalan kaki melewati jalan yang menanjak untuk menuju ke obyek wisatanya. Aku baru tahu, ternyata Bedugul adalah nama sebuah danau. Karena sebelumnya aku mengira Bedugul adalah candi. Tapi di sini aku tiada melihat candi, yang ada hanya hamparan air luas yang tenang dan diselimuti kabut. Vindy, Ulfah, Fahni, Yulia, Tamara dan teman-teman yang lain berfoto ria di pinggir danau itu. Tetapi aku lebih memilih duduk bersantai karena badanku lelah sekali. Selesai berfoto, Aku, Fahni dan Vindy masuk ke mini market dekat situ. Vindy dan Fahni membeli kalung kembar yang gantungannya terbuat dari cangkang hewan dan bentuknya seperti cabai. Sedangkan aku berputar-putar mencari baju untuk adikku. Setelah membayar di kasir, aku diberi stiker yang bertuliskan ‘Bedugul Mini Market Oleh-oleh khas Bali’. Tak terasa waktu kami di sini telah habis. Kami kembali ke bis. Di dalam bis, aku merasa ada yang kurang. Dan ternyata Bli Ketut sudah tidak di sini lagi. Out Door Activity kami di Bali sudah selesai dan sekarang kami sudah harus ke Pelabuhan Gilimanuk untuk menyeberang ke Pulau Jawa lagi.
Dalam perjalanan ini ada perasaan yang berbeda dari perjalanan saat berkeliling Pulau Dewata, yaitu tidak ada suara Bli Ketut yang biasanya bercanda dan bercerita panjang lebar tentang Bali. Kali ini pihak Malinda Tour akan membagikan hadiah bagi murid yang bisa menjawab pertanyaan seputar Bali seperti yang sudah dijelaskan oleh Bli Ketut. Sayangnya aku tidak mendapatkan hadiah tersebut. Ada kakak kelas 8 yang namanya Mbak Dea. Ia mendapat hadiah berisi roti dan membagi-bagikannya kepada penghuni bis yang lain, termasuk aku. Sepanjang perjalanan ini diiringi dengan lagu-lagu dan karaoke. Hingga akhirnya sekitar pukul 4 sore kami sampai di pelabuhan. Saat kapalnya sudah siap, kami pun naik. Kapal yang kami tumpangi untuk pulang lebih kecil dari kapal yang kami tumpangi untuk berangkat ke Bali. Di atas kapal, aku lebih memilih untuk duduk di bagian luar karena perutku terasa mual bila berada di dalam ruangan. Lama kami menunggu keberangkatan kapal. Aku mencari-cari rombongan SMPN 1 Boyolali yang dari bis 1, namun tetap saja tidak kelihatan batang hidungnya. Terdengarlah kabar bila bis 1 tidak boleh ikut kapal ini karena sudah penuh. Mesin dihidupkan, kapal berangkat ke seberang. Aku sangat cemas saat menerima sms dari Laila di bis 1. Bis mereka tertahan di Pelabuhan Gilimanuk dan harus menunggu kedatangan kapal selanjutnya. Rasanya sedih karena ada rombongan yang terpisah.
Sedikit demi sedikit, Selat Bali kami arungi. Dan di sore ini aku dan kawan-kawan berkesempatan untuk melihat keindahan matahari terbenam di ufuk barat. Matahari memancarkan cahaya emasnya melalui sela-sela awan yang membuatnya terlihat semakin anggun. Banyak murid yang berkerumun di pinggir kapal untuk menyaksikan fenomena ini, termasuk aku juga. Tetapi Vindy dan Ulfah malah masuk di ruangan dan membeli segelas pop mie. Dan sepertinya sedang ada masalah dengan jalinan cinta Vindy. Matahari sudah tak nampak. Titik-titik air pun berjatuhan perlahan. Dek luar kapal menjadi sepi, orang-orang masuk ke ruangan. Namun aku tetap berusaha untuk menikmati keindahan laut. Saat langit sudah mulai petang, aku melihat penampakan pelangi, kalau tidak salah di arah tenggara. Hatiku terasa damai saat itu. Di luar aku hanya berbincang dengan beberapa anak laki-laki seperti Guntoro dan Faiz. Hingga akhirnya kapal telah menepi di Pulau Jawa. Tak kusangka akan secepat ini aku merasakan udara laut dan juga telah meninggalkan Pulau Seribu Pura, Pulau Bali. Petugas kapal membuka gerbang di dekatku dan orang-orang  berdesakan mendekati gerbang agar segera turun dari kapal. Padahal aku yang sejak tadi berdiri di samping gerbang pun biasa-biasa dan santai saja. Aku hanya bisa tersenyum. “Pulau Jawa, aku telah kembali…”, kata hatiku pelan. Tak lama datanglah Vindy, Fahni dan Ulfah. Kami berempat berjalan keluar dari kapal ini.
Kami berjalan menuju areal parkiran dan menunggu bis turun dari kapal. Bis sudah tiba, kami masuk ke dalamnya dan melanjutkan perjalanan meski tanpa bis 1. Bersama dengan masuknya kami ke dalam bis, ada 2 orang pengamen yang nyelonon masuk juga ke bis. Mereka membawakan lagu yang lumayan enak didengar, asik pula. Lembar-demi lembar uang pun terkumpul. Namun sepertinya Pak Widi alias pak sopir bis 5 ini agak jahil. Lagu yang dibawakan oleh pengamen telah usai dan mengucapkan terima kasih kepada Pak Widi sebagai isyarat jika mereka ingin bisnya diberhentikan sejenak. Sudah dua atau beberapa kali, pengamen-pengamen itu memberikan isyarat, tetapi pedal rem sama sekali tidak diinjak oleh Pak Widi. Malahan pedal gas yang diinjak. Saat bis sudah jauh dari pelabuhan, bis baru berhenti dan kedua orang itu turun sambil mengucapkan, “Makasih, Om!”. Namun kelihatannya mereka berdua sangat sebal kepada Pak Widi. Aku dan Fahni yan duduk disampingku tertawa karena menganggap ini hal yang lucu walaupun sebenarnya aku kasihan kepada dua orang tadi. Roda bis kembali berputar cepat di hari yang sudah petang itu.
Waktunya shalat maghrib bagi umat Islam sudah tiba. Rombongan SMPN 1 Boyolali mampir di Rumah Makan Grafika untuk ibadah dan makan malam. Aku mengantri untuk mengambil makan ditemani dengan buah melon dan segelas sirup lalu duduk di sebuah meja bundar. Vindy dan Ulfah telah mengambil makan lebih dahulu dari aku. Saat aku duduk bersama Vindy dan Ulfah, mereka sudah selesai makan dan bergegas pergi shalat. Dalam kelompok, hanya aku yang beragama non-Islam. Sedangkan Fahni juga beribadah bersama Yulia dan kawan-kawan. Jadi aku merasakan makan malam hanya seorang diri. Sehabis makan, aku pergi ke kamar mandi untuk sekedar membersihkan diri. Saat kembali, terlihat sudah banyak teman berkumpul di meja yang baru saja aku gunakan untuk makan. Mereka adalah Humairoh, Fahni, Yulia dan Nanda. Datang juga beberapa anak laki-laki ke sini. Vindy dan Ulfah juga datang. Meja yang tadinya sepi kini sudah jadi ramai. Setelah makan malam dan bercanda ria, kami menuju luar rumah makan untuk bermain, berfoto dan menunggu kehadiran bis 1 yang tertinggal.


Akhirnya bis 1 tiba di rumah makan ini. Penumpangnya segera makan malam dan menunaikan ibadah shalat. Aku dan Fahni bersatu kembali. Kami berdua berjalan ke bagian luar bawah rumah makan. Ternyata di belakang rumah makan ini adalah laut. Dan lantai yang sedang aku injak ternyata hanya kayu yang disusun. Aku merasa takut dan khawatir jika di tempat aku berpijak akan runtuh dan aku tercebur ke laut. Fahni menenangkanku dan mengajakku untuk duduk sambil menikmati angin malam. Kami berdua bercanda dan mengenang masa-masa indah kami di Bali dan di kapal saat matahari terbenam tadi. Kami sangat senang dan kecewa karena semuanya yang pernah kami lakukan di masa ODA ini tidak diabadikan atau direkam seluruhnya. Karena memang tidak mungkin jika semua yang pernah kami lakukan di Bali direkam. Kami berdua membasuh muka dan kembali ke parkiran serta menemui teman-teman. Hari semakin malam. Kami masuk ke bis dan melanjutkan perjalanan pulang. malam ini terasa sangat sunyi. Sepertinya kami semua memang sudah kewalahan berlibur di Pulau Dewata.
Malam telah berlalu. Saat aku membuka matayang masih buram, terlihat seseorang membangunkanku. Kata teman-teman, saat bangun tidur aku terlihat seperti orang kebingungan. Dan sebenarnya aku juga bingung ketika melihat bis dalam keadaan berhenti. Aku turun dari bis dan bergabung bersama Hanum, Laila, Tamara, Berlian, Vindy, Fahni dan Ulfah yang lagi ngrumpi. Alasan bis berhenti di areal masjid ini adalah karena menunggu bis-bis lain yang tertinggal jauh. Saat jarak antar bis sudah semakin dekat, bis kami melanjutkan perjalanan lagi. Dalam perjalanan ini badanku terasa tidak enak, sepertinya aku agak demam. Waktu pun terasa sangat cepat dan sangat lambat. Terasa cepat karena seperti baru kemarin aku berangkat dari Boyolali, tetapi kenapa sekarang aku sudah harus kembali ke Boyolali lagi. Terasa lambat karena perjalanannya menjadi membosankan saat aku harus terus duduk hingga aku kembali ke Boyolali lagi. Badanku sangat pegal karena duduk selama berjam-jam hingga akhirnya kami sudah berada di kawasan Boyolali. Bis berhenti karena ada penumpang yang turun di perjalanan. Bis berjalan lagi. Bis pun berhenti lagi untuk waktu yang cukup lama karena ada yang turun lagi dan menunggu bis lain yang tertinggal agar bisa sampai di SMPN 1 Boyolali bersamaan. Tetapi bis yang ditunggu malah mendahului bis kami. Padahal kami sudah merelakan bis berhenti supaya bisa sampai bersama. Beberapa dari anggota bis 5 menjadi sebal. Namun bis kami segera bernagkat dan menyusul mereka. Aku pun tidak berhenti di sekolah. Aku memilih diberhentikan di dekat Rumah Sakit Umum Pandanaran karena jaraknya dengan rumahku cukup dekat. Aku berjalan ke rumah dan segera mengistirahatkan tubuhku. Selesailah perjalanan Out Door Activity kami kali ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sinopsis Film Guruku Boyolali

Kiss The Rain versi Indonesia

Percobaan Massa Jenis